Kepompong
By : Nurul Latifah Hana P
Rumah
tua ini adalah pilihan terakhirku. Aku bebas tinggal disini tanpa ada yang
menganggu. Rumah ini tidak seluas rumahku yang
dulu.
HP
ku berdering tapi aku tak mengindahkannya. Aku memandangi langit langit kamarku
yang tadi pagi kubersihkan.
2
hari yang lalu, aku pergi dari rumahku yang mewah dan besar. Tak peduli dengan
keluargaku yang bobrok itu. Ayah gila hormat dan sok berkuasa. Ibu yang pandai
mencaci maki orang dan berselingkuh itu. Dan adikku, Corrie.
Aku bingung untuk tinggal dimana. Jangan tanya tentang
dimana temanku. Memang, aku mempunyai banyak teman tetapi, tak ada yang mau
menampungku. Bisa di tebak!, karena mereka takut terhadap ayahku yang tukang
marah.
Aku bak kepompong yang terombang ambing mencari
cangkang baru. Aku sibuk menelpon saudara namun tak lama kemudian kusadari.
Mereka bisa saja memberitahu keberadaanku pada ayah dan ibu. Dan itu artinya
kembali ke rumah dan cambuk ayah.
Hpku berdering untuk yang kedua kalinya, dari Corrie.
Lagi lagi aku hanya memandangnya sekilas.
2 hari lalu, aku terpaksa meringkuk di emperan toko.
dingin menusuk tulangku apalagi hujan mulai turun dan semakin deras.
Sebuah mobil melaju mendekat. Aku tau itu mobil
ayahku, menyadari bahaya mengancam aku nekat untuk menerobos hujan. Aku berlari
dan terdengar suara ayah dari mobil berteriak memanggilku kembali.
Aku terus berlari tak terhitung berapa kali aku
terjatuh demi bisa selamat dari kejaran ayah dan mobilnya yang semakin cepat
mengajarku.
Aku bersembunyi di semak semak sehingga ayahku tak
bisa mangajarku dan pingsan disana
hingga kaki dan tanganku dihinggapi lintah.
lalu, aku bertemu dengan rumah tua ini. Dengan air dan
listrik yang mengalir. Aku tak tau mengapa?, mungkin pemiliknya yang membiarkan
rumah ini dengan air dan listrik yang mengalir.
Hpku berdering untuk kali ketiga. Ini dari ibu.
Terpaksa aku mengangkatnya.
“hallo, zie. Apa kabar kamu, nak?” sapa ibu bahagia.
“ baik, bu” jawabku ketus.
“ sekarang kamu dimana??? Biar ibu jemput ya?”
Aku menarik napas, “sekarang, aku tinggal jauh dan
jauh dari ibu. Jadi, ibu gak perlu jemput. Karena masa aku bersama ibu sudah
habis! Kenapa sih?!, disaat ibu memiliki kesempatan untuk menyayangiku malah
ibu memakiku menamparku dengan semena mena. Mungkin, aku hanya beban untuk ibu”
semprotku.
Terdengar isak tangis di ujung sana. “tidak , nak.
Kamu bukan beban.... kembalilah”
“ kambali?? Untuk apa!!, aku sudah jauh dan jauh”
Lalu, kututup telepon.
Siangnya, aku keluar untuk mencari makan. Perhatianku
terpusat pada sebuah tiang usang di depan rumah tua. Aku mencoba untuk
membersihkan debu agar bisa membaca pengumuman itu.
Tanah milik : Sri srikarti.
Betapa terkejutnya diriku kala menyadari itu nama
ibuku. End.
Note : kita tidak bisa jauh jauh dari
keluarga terutama ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar