Jumat, 15 Februari 2013

kepompong


Kepompong
   By : Nurul Latifah Hana P

Rumah tua ini adalah pilihan terakhirku. Aku bebas tinggal disini tanpa ada yang menganggu. Rumah ini tidak seluas rumahku yang  dulu.
HP ku berdering tapi aku tak mengindahkannya. Aku memandangi langit langit kamarku yang tadi pagi kubersihkan.
2 hari yang lalu, aku pergi dari rumahku yang mewah dan besar. Tak peduli dengan keluargaku yang bobrok itu. Ayah gila hormat dan sok berkuasa. Ibu yang pandai mencaci maki orang dan berselingkuh itu. Dan adikku, Corrie.
Aku bingung untuk tinggal dimana. Jangan tanya tentang dimana temanku. Memang, aku mempunyai banyak teman tetapi, tak ada yang mau menampungku. Bisa di tebak!, karena mereka takut terhadap ayahku yang tukang marah.
Aku bak kepompong yang terombang ambing mencari cangkang baru. Aku sibuk menelpon saudara namun tak lama kemudian kusadari. Mereka bisa saja memberitahu keberadaanku pada ayah dan ibu. Dan itu artinya kembali ke rumah dan cambuk ayah.
Hpku berdering untuk yang kedua kalinya, dari Corrie. Lagi lagi aku hanya memandangnya sekilas.
2 hari lalu, aku terpaksa meringkuk di emperan toko. dingin menusuk tulangku apalagi hujan mulai turun dan semakin deras.
Sebuah mobil melaju mendekat. Aku tau itu mobil ayahku, menyadari bahaya mengancam aku nekat untuk menerobos hujan. Aku berlari dan terdengar suara ayah dari mobil berteriak memanggilku kembali.
Aku terus berlari tak terhitung berapa kali aku terjatuh demi bisa selamat dari kejaran ayah dan mobilnya yang semakin cepat mengajarku.
Aku bersembunyi di semak semak sehingga ayahku tak bisa  mangajarku dan pingsan disana hingga kaki dan tanganku dihinggapi lintah.
lalu, aku bertemu dengan rumah tua ini. Dengan air dan listrik yang mengalir. Aku tak tau mengapa?, mungkin pemiliknya yang membiarkan rumah ini dengan air dan listrik yang mengalir.
Hpku berdering untuk kali ketiga. Ini dari ibu. Terpaksa aku mengangkatnya.
“hallo, zie. Apa kabar kamu, nak?” sapa ibu bahagia.
“ baik, bu” jawabku ketus.
“ sekarang kamu dimana??? Biar ibu jemput ya?”
Aku menarik napas, “sekarang, aku tinggal jauh dan jauh dari ibu. Jadi, ibu gak perlu jemput. Karena masa aku bersama ibu sudah habis! Kenapa sih?!, disaat ibu memiliki kesempatan untuk menyayangiku malah ibu memakiku menamparku dengan semena mena. Mungkin, aku hanya beban untuk ibu” semprotku.
Terdengar isak tangis di ujung sana. “tidak , nak. Kamu bukan beban.... kembalilah”
“ kambali?? Untuk apa!!, aku sudah jauh dan jauh”
Lalu, kututup telepon.
Siangnya, aku keluar untuk mencari makan. Perhatianku terpusat pada sebuah tiang usang di depan rumah tua. Aku mencoba untuk membersihkan debu agar bisa membaca pengumuman itu.
            Tanah milik : Sri srikarti.
Betapa terkejutnya diriku kala menyadari itu nama ibuku.  End.

Note : kita tidak bisa jauh jauh dari keluarga terutama ibu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar